Tradisi Mudik – Beberapa saat yang lalu, kita telah menyaksikan, bahkan ikut terlibat fenomena tahunan yang terjadi di ujung bulan Ramadan: Mudik. Ya, di mana kita sedang menjalankan ibadah puasa, saat itu pula sebagian orang disibukkan dengan tradisi “pulang kampung”. Mudik bagi sebagian orang merupakan suatu yang sangat dinantikan, apalagi saat mendekati Hari Raya Idulfitri. Bagaimanapun caranya dilakukan agar tetap mudik. Akan tetapi, keberadaan mudik membuat berbagai pihak sibuk. Tidak hanya pemerintah terutama Departemen Perhubungan dibuat pusing tujuh keliling mengatur dan mengamankan arus mudik. Bahkan, pemerintah daerah di wilayah Indonesia turut menyiapakan menyambut kedatangan orang dari daerah lain akibat mudik.
Tradisi mudik yang telah telah berlangsung puluhan tahun ini, menjadi penanda bahwa hubungan emosional masyarakat dengan tempat kelahiran masih sangat kuat, tidak pernah terkikis oleh perjalanan waktu. Lebih-lebih dalam lingkungan masyarakat Jawa, tradisi mudik dilatarbelakangi oleh kecenderungan menengok ke belakang, memandang masa lampau, dan menatap ke dalam sangat kuat.
Menurut Umar Kayam (2002), tradisi mudik lebaran sejatinya merupakan sebuah manifestasi dialektika kultural yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Secara historis, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah dikenal jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit.
Pada awalnya, kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya, yang dilaksanakan secara rutin sekali dalam setahun. Sejak pengaruh Islam masuk, tradisi ini berangsur terkikis, karena dianggap syirik. Namun peluang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idul Fitri.
Saat ini, tradisi mudik tidak lagi menjadi monopoli umat Islam semata guna merayakan hari raya Idul Fitri, tetapi telah menjadi kebutuhan semua elemen bangsa. Mudik benar-benar prilaku khas sekaligus salah satu kearifan lokal bangsa ini yang patut dilestarikan.
Mudik, sebuah budaya yang tidak bisa lepas dari akar budaya mereka, asal-usul mereka, meski mereka telah hidup di tengah-tengah budaya yang sedemikian modern. Di Indonesia, lebaran mengandung nilai silaturahmi yang dijadikan alasan mereka untuk sejenak kembali ke akar budayanya.
Mengingat sudah menjadi budaya, tradisi mudik ini sulit dihapus atau bisa tergantikan dengan teknologi komunikasi secanggih apa pun, baik itu lewat internet atau lewat handphone dengan 3G sekalipun.
Memang, dengan teman mungkin bisa hanya lewat SMS. Tapi kalau dengan orang tua jelas nggak bisa karena tidak bisa mewakili sungkeman yang memerlukan kedekatan fisik.
Di sisi lain, tradisi mudik ini merupakan sebuah gambaran pula bahwa orang desa tak bisa berasimilasi sepenuhnya dengan kehidupan kota yang lebih modern. Dengan kata lain, mereka tak bisa menjangkau kehidupan ekonomi kota yang glamor dan shopisticated. Pasalnya, orang-orang desa yang datang ke kota-kota besar seperti Jakarta, kebanyakan bekerja di sektor nonformal seperti menjadi tukang bakso, pedagang jamu, dan lain sebagainya. Karena tidak bisa berasimilasi sepenuhnya itu akhirnya ikatan terhadap budaya asli tetap kuat dan mereka ingin kembali ke komunitasnya di mana dia menjadi bagian utuh dari budaya.
Tradisi ini, berbeda dengan di Amerika Serikat. Di Amerika juga ada mudik, tetapi struktur masyarakatnya hanya terpusat pada keluarga inti (nuclear family) sehingga mereka bisa bertemu di mana- mana, tidak harus di kampung halaman pada saat tradisi mudik.
Contoh Tesis
Contoh Skripsi
Leave a Reply