Judul : Perbandingan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah di Indonesia Sebelum dan Setelah Adanya PSAK No 59 Studi Kasus Pada PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan praktik bisnis yang berlandaskan prinsip syariah di Indonesia menunjukkan suatu kemajuan. Hal ini ditandai oleh semakin bertambah dan semakin lengkapnya lembaga keuangan syariah di negeri ini, yakni dengan didirikannya pasar modal syariah (PMS) pada 14-15 Maret 2003 lalu oleh Bapepam, Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Self Regulatory Organization (SRO). Jadi yang sebelumnya hanya ada perbankan syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, kini bertambah dengan hadirnya pasar modal syariah, dan berbagai perkembangan bisnis syariah di sektor riil seperti adanya Multi Level Marketing (MLM) syariah dan hotel syariah (Modal, 2003d).
Dalam lingkup internasional, sekarang ini telah ada lebih dari 300 Bank Syariah dan lembaga keuangan lainnya, yang tersebar di 75 negara dan aset yang dikelolanya telah mencapai US$ 200 juta (Mooduto, 2003). Perkembangan di tingkat internasional ini didukung oleh adanya infrastruktur- infrastruktur yang di antaranya: (1) Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), (2) The Islamic Financial Service Board (IFSB), (3) The International Islamic Financial Market (IIFM), (4) The International Rating Agency (IIRA), dan (5) The General Council of Islamic Banks and Financial Institutions (GCIBFI). Untuk perkembangan kelembagaan perbankan syariah, di Indonesia kini telah terdapat 9 Bank Syariah dan 85 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (Bank Indonesia, 2003b), sedangkan untuk lembaga keuangan Islam nonbank telah ada 14 perusahaan Asuransi Syariah, 6 perusahaan yang telah menerbitkan obligasi syariah, dan 4 perusahaan reksadana syariah (Modal, 2003k).
Dari semua perkembangan tersebut hanya satu yang paling menonjol dan dominan, yaitu perbankan syariah, yang merupakan ujung tombak suatu perekonomian (Karim, 2003). Industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang relatif pesat terutama setelah dikeluarkannya UU. No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah dan UU. No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk mengakomodasi prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan tugas pokoknya.
Untuk lebih meluaskan dan memudahkan pembukaan bank syariah, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan No. 4/I/PBI/2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional. Dengan adanya perangkat peraturan perundang-undangan tersebut, diperkirakan ke depan perbankan syariah akan terus mengalami perkembangan. Perkembangan ini ditandai dengan meningkatnya aset dan jumlah jaringan kantor.
Menurut data Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia sampai Juni 2003, aset perbankan syariah telah mencapai Rp 5,37391 Triliun. Jika aset perbankan syariah pada September 2002 hanya mencapai Rp 3,66983 Triliun, berarti terjadi peningkatan aset sebesar Rp 1,70408 Triliun (46,43%) dalam jangka waktu 9 bulan. Walaupun peningkatan asetnya tinggi, aset perbankan syariah bila dibandingkan dengan aset perbankan nasional adalah baru mencapai 0,48%.
Untuk jaringan kantor perbankan syariah, sampai dengan Juni 2003 telah terdapat 274 kantor yang tersebar di 20 propinsi. Jika pada September 2002 hanya terdapat 212 kantor, maka terjadi peningkatan sebesar 62 kantor (29,25%) dalam jangka waktu 9 bulan (Bank Indonesia, 2003b). Proyeksi pertumbuhan total aset bank syariah di Indonesia selama 8 tahun diperkirakan sebesar 2.850 % atau rata-rata tumbuh 356,25 % tiap tahunnya (Karim, 2003). Seiring dengan perkembangan praktik bisnis syariah tersebut, maka diperlukan suatu bahasa bisnis yang mampu memperlancar dan memudahkan berbagai proses dan transaksi bisnis yang terjadi. Bahasa bisnis inilah yang kemudian dikenal dengan akuntansi.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi, terutama dalam menerima simpanan, bank syariah mengaplikasikan prinsip mudharabah. Dalam prinsip ini penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan, yang hasilnya akan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam mudharabah prinsip yang dipakai adalah jika mengalami kerugian, maka akan ditanggung oleh shahibul maal dalam hal ini adalah penyimpan atau deposan.
Oleh karenanya dalam penyajian dana pihak ketiga yang menggunakan prinsip mudharabah di neraca yaitu di pasiva adalah sebagai investasi tidak terikat, bukan sebagai kewajiban (liabilities) dalam pengertian wajib dikembalikan dalam kondisi apapun. Pengertian akun investasi tidak terikat menunjukkan bank secara bebas dapat melakukan investasi sepanjang tidak bertentangan dengan syariah. Sedangkan pada sisi lain terdapat akun investasi terikat yang tidak dicatat sebagai bagian dari pasiva tetapi dicatat sebagai off balance sheet yang berbentuk laporan perubahan dana investasi terikat (Baraba, 2002).
Menurut Adnan (2001), pada bank syariah terdapat produk atau jasa yang tidak akan ditemukan dalam operasi bank konvensional, seperti musyarakah, mudharabah, murabahah, salam, istishna, dan lain sebagainya. Dalam penelitiannya, Ahmad (2002) menyimpulkan bahwa karena adanya perbedaan dalam hal sistem produk dan jasa, maka standar dan laporan keuangan antara bank konvensional dan bank syariah harus berbeda. Perbedaan dalam produk dan jasa tersebut memunculkan perbedaan dalam perlakuan akuntansi. Hal ini dapat dilihat pada simpanan.
Dalam konteks akuntansi bank konvensional, simpanan akan diperlakukan sebagai utang ‘murni’ bank (sisi liability), sehingga akan muncul dalam kelompok utang atau kewajiban jangka pendek. Sedangkan simpanan mudharabah pada bank syariah pada hakekatnya mempunyai posisi antara ‘utang’(liability) dan ‘modal’ (equity). Hal ini disebabkan bank syariah tidak mempunyai kewajiban ‘penuh’ mengembalikan simpanan mudharabah tersebut manakala terjadi kerugian. Perbedaan lainnya mengenai perlakuan akuntansi dalam simpanan mudharabah adalah bagi hasil mudharabah. Dalam akuntansi bank konvensional, bunga yang dibayarkan bank kepada nasabah dikategorikan sebagai beban atau expense, akan tetapi dalam bank syariah tidak diakui sebagai beban, karena prinsip mudharabah sebenarnya lebih menyerupai equity daripada liability (Adnan, 2001).
Bank Indonesia (2003a) menyatakan bahwa fungsi bank syariah adalah sebagai
- manajer investasi,
- investor,
- penyedia jasa keuangan dan lalulintas pembayaran, dan
- pengemban fungsi sosial.
Oleh karenanya, laporan keuangan bank syariah selain ditujukan untuk pemakai yang sama dengan pemakai laporan keuangan bank konvensional juga ditujukan untuk investor, pembayaran zakat, infaq, dan shadaqah serta Dewan Pengawas Syariah (Ratmono, 2003).
Pada tanggal 1 Mei 2002 Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mengesahkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang berlaku mulai 1 Januari 2003. PSAK No. 59 ini merupakan langkah maju bagi:
- IAI sebagai lembaga profesional yang memiliki otoritas untuk menerbitkan standar akuntansi keuangan, dan
- dunia perbankan syariah di Indonesia yang mulai eksis sejak tahun 1992 (Triyuwono, 2002).
Dengan adanya PSAK No. 59 ini, perbankan syariah akan sangat terbantu dalam menyiapkan dan menyusun laporan keuangan. Sebelum standar ini ada, perbankan syariah menggunakan standar akuntansi keuangan untuk perbankan konvensional yaitu PSAK No. 31 yang tentunya kurang sesuai untuk digunakan oleh perbankan syariah.
Menurut Affandi (2003), bank syariah harus dapat menyajikan informasi yang cukup, dapat dipercaya, dan relevan bagi para penggunanya, namun tetap dalam konteks syariah Islam, karena penyajian informasi semacam itu penting bagi proses pembuatan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan bank syariah dan akan memiliki dampak positif terhadap distribusi sumber-sumber ekonomi untuk kepentingan masyarakat.
Budiman (2003) menjelaskan bahwa, untuk mendorong individu menginvestasikan dananya melalui bank syariah, individu-individu tersebut harus terlebih dahulu percaya bahwa bank syariah mampu merealisasikan tujuan-tujuan investasinya. Salah satu prasyarat pengembangan kepercayaan itu adalah ketersediaan informasi. Di antara sumber-sumber informasi yang penting adalah laporan keuangan bank syariah yang disiapkan sesuai dengan standar yang berlaku.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Ahmad (2002) tentang perbandingan laporan keuangan bank syariah dengan bank nonsyariah. Perbedaan utama dari penelitian terdahulu adalah variabel yang diteliti dan objek yang digunakan dalam penelitian. Apabila penelitian terdahulu lebih menekankan pada perbandingan fungsi dan kegiatan serta laporan keuangan yang dihasilkan dan objeknya adalah bank syariah (Bank Syariah Mandiri) dan bank non-syariah (Bank IFI), maka penelitian ini menekankan pada perbandingan penyajian laporan keuangan bank syariah sebelum dan setelah adanya PSAK No. 59 yang kemudian dievaluasi penerapannya dengan PSAK No. 59, yang dijadikan objek adalah dua buah bank umum syariah yang memiliki aset terbesar, yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia dan PT. Bank Syariah Mandiri.
Untuk mengkaji permasalahan tersebut, penulis mencoba merumuskan penelitian yang membahas tentang bagaimana penyajian laporan keuangan bank syariah sebelum dan setelah adanya PSAK No. 59 dengan judul: “PERBANDINGAN PENYAJIAN LAPORAN KEUANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA SEBELUM DAN SETELAH ADANYA PSAK No. 59”.
bisa di donlod g???