ABSTRAK
BMT sebagai lembaga intermediasi merupakan lembaga keuangan mikro yang bergerak dibidang jasa yang bertujuan untuk mengembangkan usaha mikro. Salah satu kegiatan jasa yang dilakukan adalah di bidang pembiayaan atau kredit usaha BMT. Hal ini tak lepas dari peranannya untuk meningkatkan pendapatan usaha mikro akibat tambahan modal yang diperoleh dari BMT. Oleh karena itu pemerintah dan swasta telah gencar membuka pinjaman kredit untuk meningkatkan pendapatan usaha mikro. Hal itu tidak lepas dari sistem kredit usaha yang baik guna mampu memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan pendapatan usaha mikro. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah : Adakah hubungan antara kredit usaha Baitul Maal Wattamwil (BMT) dengan pendapatan usaha mikro di Kabupaten Tegal?. Penelitian ini bertujuan: Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kredit usaha Baitul Maal Wattamwil (BMT) dengan pendapatan usaha mikro di Kabupaten Tegal.
Populasi penelitian ini adalah nasabah yang meminjam uang pada Baitul Maal Wattamwil di Kabupaten Tegal. Baitul Maal Wattamwil dalam penelitian ini berjumlah 12 Baitul Maal Wattamwil yang ikut dalam wadah Asosiasi BMT Syirkah Muawanah (SM) se-Kabupaten Tegal. Populasi jumlah nasabah yang meminjam di 12 BMT sebanyak 2982 orang. Penentuan sampel penelitian sebanyak 97 orang dengan teknik Cluster Proportional Random Sampling. Variabel dalam penelitian ini ada dua yaitu kredit usaha Baitul Maal Wattamwil (BMT) sebagai variabel bebas dan pendapatan usaha mikro sebagai variabel terikat. Metode pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan angket, metode dokumentasi dan metode wawancara. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis korelasi dalam menginterprestasikan hasil penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa data kredit usaha Baitul Maal Wattamwil (BMT) di Kabupaten Tegal skor yang diperoleh sebesar 7852 dibandingkan dengan skor maksimum 11640 atau sebesar 67.46%. Sedangkan data pendapatan usaha mikro di Kabupaten Tegal diperoleh sebesar 4114 dibandingkan dengan skor maksimum 5820 atau sebesar 70.69%. Hasil pengolahan data diketahui nilai korelasi atau r sebesar 74.5% sedangkan nilai r tabel kritis Product Moment pada interval kepercayaan 95% N = 97 sebesar 19.5%. Dengan demikian hipotesis nol (H0) dalam penelitian ini dinyatakan ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) yang berbunyi “ ada hubungan kredit usaha Baitul Maal Wattamwil (BMT) dengan pendapatan usaha mikro di Kabupaten Tegal “ dinyatakan diterima. Berdasarkan uji signifikansi daripada r di peroleh rz pada ? = 5% sebesar 0.20. Hal ini menunjukkan bahwa r = 0.745 > rz = 0.200. Dengan demikian hasilnya sama yaitu Dengan demikian hipotesis nol (H0) dalam penelitian ini dinyatakan ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) yang berbunyi “ ada hubungan kredit usaha Baitul Maal Wattamwil (BMT) dengan pendapatan usaha mikro di Kabupaten Tegal “ dinyatakan diterima. Sumbangan efektif variabel bebas terhadap variabel terikat sebesar 0.555 atau 55.5%, sedangkan sisanya sebesar 44.5% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diungkap dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kredit usaha BMT dengan pendapatan usaha mikro di Kabupaten Tegal , data kredit usaha BMT di Kabupaten Tegal rata-rata termasuk dalam kriteria baik sedangkan data pendapatan usaha mikro di Kabupaten Tegal termasuk dalam kriteria baik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pengurus BMT didalam mendesain sistem kredit yang baik dalam pengelolaan usaha BMT, sehingga dapat meningkatkan mutu kinerja BMT dan pengusaha mikro di Kabupaten Tegal dalam meningkatkan kesejahteraan BMT dan pengusaha mikro. Salah satu cara yaitu meningkatkan kinerja manajemen yang profesional dan dibentuk program pembinaan usaha mikro yang profesional.
Kata Kunci : Kredit Usaha BMT, Pendapatan Usaha Mikro
Contoh Tesis
- Daftar Contoh Tesis Akuntansi
- Daftar Contoh Tesis Akuntansi Perpajakan
- Daftar Contoh Tesis Akuntansi Perusahaan
Contoh Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hernandi de Soto (dalam Baihaki Abdul Majid, 2002:1) menggambarkan betapa besarnya sektor ekonomi informal dalam memainkan perannya dalam aktivitas ekonomi di negara berkembang. Ia juga mensinyalir keterpurukan ekonomi di negara berkembang disebabkan ketidakmampuan untuk menumbuhkan modal. Asset di negara berkembang tidak mampu menjadi modal kerja karena asset tersebut tersandung masalah kepemilikan (property right). Sedangkan pinjaman untuk keperluan penambahan modal diperlukan ketegasan kepemilikan. Belum adanya lembaga keuangan yang menjangkau daerah pedesaan (sektor pertanian dan sektor informal) secara memadai yang mampu memberikan alternatif pelayanan (produk jasa) simpan pinjam yang mampu bekerja sama dengan kondisi sosial kultural serta kebutuhan ekonomi masyarakat desa menyebabkan konsep BMT (Baitul Maal Wattamwil) dapat dihadirkan di daerah pedesaan.
BMT diperlukan masyarakat dengan pertimbangan-pertimbangan : 1) masih terdapat kurang lebih 34.8 juta pengusaha kecil di Indonesia, dan 2) belum ada lembaga perbankan yang mampu berhubungan langsung dengan pengusaha kecil bawah dan kecil. Lembaga-lembaga keuangan yang dapat berhubungan langsung dengan pengusaha kecil bawah dan kecil bersifat profit oriented sehingga mereka selalu menjadi pihak yang dirugikan (www.Republikaonline.com, 14/12/01. 12.15 WIB). Sistem bagi hasil dinilai telah berhasil menghindarkan dampak negatif dari penerapan bunga, seperti a) pembebanan pada nasabah berlebih-lebihan dengan beban bunga berbunga (annuitas interest) bagi nasabah yang tidak mampu membayar pada saat jatuh temponya; b) timbulnya pemerasan (eksploitasi) yang kuat terhadap yang lemah; c) terjadinya konsentrasi kekuatan ekonomi ditangan kelompok elit, para bankir, dan pemilik modal; d) kurangnya peluang bagi kekuatan ekonomi lemah/bawah untuk mengembangkan potensi usahanya. Selain itu sistem bagi hasil juga dinilai mampu mengalokasikan sumber daya dan sumber dana secara efisien (Sumitro, 1997:50), sehingga dengan pengalokasian sumbersumber yang ada, nasabah mampu meningkatkan pendapatan dari perkembanganusahanya.
Keberadaan BMT sebagai sistem pembiayaan bank syari’ah, sistem bagi hasil dapat memotivasi dan meningkatkan keuletan berusaha, hal tersebut dikarenakan adanya bimbingan pengelolaan modal maupun usaha yang dibandingkan dengan bank konvensional, sehingga dimungkinkan dengan pembiayaan yang diiringi dengan bimbingan pengelolaan modal dan usaha dapat membantu meningkatkan produktivitas usaha, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan usaha mikro. Pendapatan merupakan kenaikan kotor dalam asset atau penurunan dalam liabilitas atau gabungan dari keduanya selama periode yang dipilih oleh pernyataan pendapatan yang berakibat dari investasi, perdagangan, memberikan jasa atau aktivitas lain yang bertujuan meraih keuntungan (Syafi’i, 2001:204). Kantor Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mendefinisikan usaha mikro dan usaha kecil adalah suatu badan milik WNI baik perorangan maupun berbadan hukum yang memiliki kekayaan bersih (tidak termasuk tanah dan bangunan) sebanyak-banyaknya Rp 200 juta dan atau mempunyai omzet / nilai output atau hasil penjualan rata-rata pertahun sebanyak-banyaknya Rp 1 milyar dan usaha tersebut berdiri sendiri (Filaili dkk, 2003:6).
Peningkatan pendapatan usaha mikro seringkali mengalami kendala, salah satu kendalanya adalah masalah permodalan. Besar kecilnya usaha yang dilakukan seseorang sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya modal yang dipergunakan. Suatu usaha yang besar akan dapat memberikan peluang yang besar pula terhadap pendapatan yang akan diperoleh (Bintari dan Suprihatin, 1984:35). Hal ini penting karena kekurangan modal yang dapat membatasi ruang gerak aktivitas usaha bagi para usaha mikro untuk mencapai tingkat pendapatan yang optimal guna menjaga kelangsungan hidup usahanya. Bantuan pemerintah dalam pemberian kredit telah disalurkan oleh Bank Indonesia melalui Bank Umum kemudian dari Bank Umum disalurkan ke lembaga perkreditan yang dalam hal ini adalah BMT untuk disalurkan secara profesional melalui kegiatan kredit usaha.
Seperti halnya perusahaan-perusahaan besar, industri kecil yang berfungsi menyediakan barang dan jasa tersebut haruslah menggunakan faktor-faktor produksi yang dibebankan ke dalam empat golongan yaitu n : tenaga kerja, tanah, modal dan keahlian keusahaan. Seperti yang sudah diketahui, sebagai perusahaan perseorangan sumbangan industri kecil kepada keseluruhan produksi nasional tidaklah terlalu besar, karena kebanyakan dari usaha tersebut dilakukan secara kecil-kecilan yaitu modalnya tidak begitu besar dan begitu pula halnya dengan hasil produksi dan penjualannya (Sukirno, 2000:188). Lembaga kredit dan pengembangannya merupakan salah satu alat kebijakan yang strategis untuk menjangkau usaha ekonomi lemah. Keikutsertaan kelompok ini dalam perekonomian desa yang senantiasa berkembang merupakan salah satu prasyarat bagi peningkatan kehidupan dan martabatnya (Mubyarto, 1986:143).
Kredit usaha BMT atau Kopsyah merupakan aktivitas usaha BMT dalam memberikan pinjaman modal kepada usaha ekonomi lemah sebagai tambahan modal yang dapat digunakan untuk membiayai usaha produktif atau memperkuat usaha yang telah ada untuk membentuk usaha baru atau untuk memperoleh sarana produksi secara terus menerus dalam rangka meningkatkan pendapatan yang diperoleh sebagai akibat tambahan modal dalam usaha produktifnya (Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia tahun 2005:1-2).
Data statistik perbankan Indonesia November 2005 menunjukkan 14,9% disalurkan ke koperasi, 39,6% ditujukan untuk kredit modal kerja dan kredit UMKM menurut lokasi proyek per daerah tingkat I di Jawa Tengah diperoleh sebesar 9.3% dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia. Data Biro Pusat Statistik yang ditunjukkan pada tabel 1 juga memperlihatkan jumlah prosentase kredit perbankan yang tersalurkan pada usaha mikro hanya 35.32%. ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil usaha mikro dan rumah tangga yang memanfaatkan bank untuk menutupi kekurangan modal usahanya.
Merujuk catatan Bisnis Indonesia (13 Januari 2003), dari LKM non bank yang berjumlah sekitar 9.000 unit, dari 39 juta pengusaha mikro pinjaman yang tersalurkan ke masyarakat baru berjumlah Rp 2,53 trilyun. Artinya, pelaku usaha yang sudah memperoleh kesempatan mengakses sumber pembiayaan mikro baru 6,65%. Seperti dipahami bersama, usaha mikro sangat sulit mengakses ke perbankan. Disamping sulit memenuhi persyaratan (5 C), biaya administrasi relatif mahal. Perbankan memilih dana Rp 1 milyar untuk melayani kredit satu orang, dari pada melayani seribu orang dengan kredit masing-masing Rp 1 juta.
Hal ini disebabkan karena adanya kesenjangan antara lembaga keuangan perbankan dengan usaha kecil. Salah satu sebab kesenjangan tersebut adalah lembaga keuangan perbankan merupakan lembaga keuangan yang dikelola secara modern, sedangkan usaha mikro sebagian besar dikelola secara tradisional tanpa memiliki pembukuan yang baik (dalam Setyo Budiantoro, Artikel Th II No 8 – November 2003).
Leave a Reply