HP CS Kami 0852.25.88.77.47(WhatApp) email:IDTesis@gmail.com

Pengukuran Kinerja Menggunakan Metode Integrated Performance System

Judul : Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja di Apotek XYZ dengan Menggunakan Metode Integrated Performance Performance System (IPMS) dan Pembobotan FUZZY-AHP

ABSTRAK

Pengukuran kinerja dalam sebuah organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan karena semua organisasi perlu mengevaluasi dan merencanakan kinerjanya agar dapat mencapai tujuan organisasi. Penelitian ini bertujuan merancang suatu sistem dan alat pengukuran kinerja pada apotek yang dipandang sebagai organisasi profit (unit bisnis) dan organisasi non-profit (unit pelayanan kesehatan). Metode yang digunakan adalah Integrated Performance Measurement System (IPMS). Metode IPMS didasarkan pada stakeholder’s requirements sebagai landasan utama penyusunan sistem pengukuran kinerja organisasi. Keinginan stakeholder tersebut yang menjadi acuan perumusan tujuan organisasiyang selanjutnya diidentifikasi indikator kinerja untuk mengukur ketercapaian tujuan.

Dari perancangan diidentifikasi empat stakeholders. Berdasarkan stakeholder’s requirements yang ada, diperoleh 26 requirements dan delapan objectives, kemudian dijabarkan menjadi 18 Key Performance Indicators (KPIs) yang dikelompokkan berdasarkan tiga aspek pengukuran kinerja yaitu input, proses, dan output. Kemudian dilakukan pembobotan dengan menggunakan metode Fuzzy-AHP. Dari hasil pembobotan, didapatkan bahwa besar bobot aspek relatif sama. Aspek input memiliki bobot terbesar (0.359) dan aspek output memiliki bobot terkecil (0.314). Hasil pembobotan objectives, didapatkan bahwa objective terbesar untuk aspek proses adalah tujuan strategis kesesuaian penyampaian informasi (0.466) dan untuk aspek output adalah tujuan strategis peningkatan volum penjualan (0.4). Pada pembobotan KPIs didapatkan hasil KPI jumlah item obat dalam daftar persediaan yang kosong dan jumlah jenis obat baru adalah ukuran kinerja yang memiliki bobot global terbesar (0.179) dan KPI produktivitas relatif bobot global terkecil (0,0068).

Kata kunci : pengukuran kinerja, apotek, IPMS, Fuzzy-AHP

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Persaingan usaha meningkat tajam dalam era globalisasi saat ini, tak terkecuali dalam pasar farmasi. Untuk berhasil dan tumbuh dalam persaingan usaha, suatu organisasi harus menggunakan sistem pengukuran dan manajemen yang diturunkan dari strategi dan kapabilitas yang dimiliki perusahaan. Pengukuran kinerja dalam sebuah organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan karena semua organisasi perlu mengevaluasi dan merencanakan kinerjanya agar dapat mencapai tujuan organisasi. Edward Deming melalui model siklus PDCA-nya mengemukakan bahwa pada proses bisnis sebaiknya dilakukan analisis dan pengukuran untuk mengidentifikasi kesalahan yang terjadi dan menyebabkan produk menyimpang dari keinginan customer (Paul Averson, 1998). Siklus PDCA sendiri digunakan sebagai model proses manajemen suatu organisasi untuk melakukan continous improvement (Nancy R, 2004). Dari hal tersebut dapat disimpulkan pentingnya pengukuran kinerja pada suatu organisasi sebagai alat evaluasi sehingga manajer dapat mengidentifikasi proses yang memerlukan perbaikan dan melakukan continous improvement. Adapun manfaat dari pengukuran kinerja adalah usaha para pekerja dapat terfokus untuk mencapai tujuan perusahaan. Tanpa pengukuran kinerja, proses untuk mencapai tujuan tidak dapat di manage sehingga tujuan perusahaan tidak dapat tercapai. Pengukuran kinerja juga diperlukan untuk melaporkan kondisi perusahaan kepada pihak stakeholder perusahaan (Yasrin Zabidi, 2008). Apotek XYZ merupakan bagian dari badan usaha CV. ABC dan bergerak dalam usaha ritel apotek, dimana penjualan Apotek XYZ berasal dan penjualan produk layanan (resep dokter) dan non layanan (over the counter product), secara tunai dan barang di luar obat-obatan (produk kesehatan). Selama ini, pengukuran kinerja yang digunakan oleh manajemen Apotek XYZ hanya menitikberatkan pada sudut pandang keuangan. Padahal, keberhasilan manajemen sebaiknya tidak hanya dilihat dari segi keuangan saja, karena penilaian terhadap kinerja manajemen yang hanya mengandalkan kinerja keuangan akan sangat menyesatkan.

Pengukuran kinerja perusahaan yang hanya dititikberatkan pada sudut pandang keuangan tidak mampu mengukur aset tidak berwujud perusahaan. Ukuran finansial tidak cukup untuk menuntun dan mengevaluasi perjalanan perusahaan melalui lingkungan yang kompetitif. Sedangkan, dalam era persaingan informasi, struktur aset tidak berwujud seperti sumber daya manusia, kualitas produk, kepuasan pelanggan dan lain sebagainya semakin mempengaruhi persaingan. Kemampuan sebuah perusahaan untuk memobilisasi dan mengeksploitasi aset tidak berwujud menjadi jauh lebih menentukan daripada melakukan investasi dan mengelola aset yang berwujud. Aset tidak berwujud memungkinkan perusahaan untuk mengembangkan hubungan dengan pelanggan, memproduksi produk dan jasa bermutu tinggi, memobilisasi kemampuan dan motivasi karyawan, dan mengembangkan sistem dan teknologi informasi (Kaplan dan Norton, 1996). Selain itu periode laporan semester bahkan tahunan adalah periode yang kadaluarsa bagi level operasional untuk menindaklanjuti berbagai kekurangan yang terjadi di masa itu. Orientasi perusahaan saat ini bukan lagi semata-mata mengejar keuntungan finansial, tetapi juga membidik aspek nonfinansial dengan memberikan nilai tambah bagi stakeholder (Dermawan, 2006). Keterbatasan umum dari performance measurement system tradisional adalah tidak adanya perspektif konsumen, tidak adanya relevansi, ketinggalan dalam matrik (laporan), bersifat jangka pendek, tidak fleksibel, tidak dapat membantu dalam peningkatan pengembangan, dan adanya distorsi biaya (Yasrin Zabidi, 2008).

Sistem pengukuran kinerja bukan merupakan isu manajemen yang baru, dan akan terus mengalami evolusi sejalan dengan perkembangan lingkungan bisnis. Pencarian sistem pengukuran kinerja yang baik dimulai pada saat perkembangan industri yang cepat di abad 19meskipun sistem pengukuran kinerja telah ada jauh sebelumnya. Namun demikian, sistem pengukuran kinerja yang telah terdokumentasi dengan baik baru ditemukan setelah revolusi industri. Secara garis besar ada lima era perkembangan sistem pengukuran kinerja, yaitu Performance measurement system untuk mengukur efesiensi internal proses (1800 – 1900); Performance measurement system untuk mengukur profitabilitas unitunit organisasi dan seluruh organisasi (1900 – 1925); Relevance lost (1925 – 1980) untuk mengukur biaya produksi dan profitabilitas perusahaan seperti ROI dan rasio-rasio keuangan lainnya telah dikembangkan; Performance measurement system non-finansial (1980–1990-an). Selain itu pada periode ini dikembangkan performance measurement system untuk ukuran non-finansial, seperti quality, delivery, dan flexibility yang tidak kalah pentingnya dari biaya (finansial). Namun para manajer masih menggunakan ukuran finansial dan non-finansial secara terpisah dan tidak terintegrasi; Integrated performance measurement system (1990 – sekarang). Para manajer dan peneliti telah merealisaikan performance measurement system finansial dan non-finansial menjadi bagian yang saling terintegrasi dan merupakan sistem pengukuran kinerja yang koheren. Beberapa peneliti yang telah mengembangkan Integrated Performance Measurement System (IPMS) diantaranya Maskell, Globerson, Cross, Neely, Kaplan dan Norton, dan lain-lain (Yasrin Zabidi, 2008).

Dihadapkan pada berbagai kenyataan yang ada di atas, penting kiranya dilakukan suatu perancangan sistem pengukuran kinerja yang dapat merepresentasikan dengan tepat seluruh aktivitas Apotek XYZ karena pengukuran kinerja di Apotek XYZ yang sekarang dianggap sudah tidak relevan lagi. Metode yang dipilih dalam merancang sistem pengukuran kinerja Apotek XYZ adalah Integrated Performance Measurement System (IPMS). Metode Integrated Performance Measurement System (IPMS) lebih ditekankan pada kepentingan stakeholder dan dapat dilakukan pada suatu organisasi yang tidak memiliki penterjemahan visi dan misi ke dalam strategi organisasi. Implementasinya pun telah banyak dilakukan baik pada organisasi profit maupun non profit sehingga dapat mengakomodasi fungsi apotek sebagai unit bisnis dan unit pelayanan kesehatan.

Leave a Reply

Open chat
Hallo ????

Ada yang bisa di bantu?